Pertanyaan:
Assalamualaikum. Ustaz, saya mahu bertanya, mengapa Allah tidak memberikan hidayah yang sama kepada semua orang, sehingga semua orang beriman kepada Allah? Memang Allah memilih hanya beberapa hamba-Nya sahaja untuk menerima hidayah, bukankah orang-orang kafir itu boleh “protes” kelak di yaumil hisab, kerana mereka kafir disebabkan Allah tidak memberi mereka hidayah? Bagaimana wujud hidayah Allah itu? Bagaimana wujud bimbingan dan petunjuk Allah itu? Kenapa kita harus “menunggu” datangnya hidayah Allah untuk berubah? Mohon penjelasan.
(Hamba Allah )
Jawapan:
Waalaikumsalam, Hamba Allah yang insya-Allah dimuliakan oleh Allah s.w.t. Kata Hidayah, menurut Qurais Shihab secara maknawi bererti “memberi petunjuk kepada sesuatu” atau “memberi hadiah”. Sedangkan Al-quran memaparkan, hidayah setidaknya memiliki dua makna:
1. Menunjuki dan membimbing (QS Fushshilat: 17)
2. Memasukkan iman ke dalam hati atau menjadikan seseorang beriman. (QS Al Qashash: 56)
Sesungguhnya hidayah Allah itu banyak mengitari kita. Para ulama merumuskan empat jalur pemberian hidayah, entah itu disedari ataupun tidak:
1. Insting @ naluri
Insting atau naluri adalah pola perilaku atau reaksi yang Allah berikan kepada kita tanpa perlu kita pelajari sebelumnya. Hidayah berupa rasa lapar yang memaksa kita mencari makanan, berupa rasa takut yang melindungi dari bahaya dan sebagainya.
Pernahkah Anda melihat gambaran bagaimana insting seorang anak manusia yang baru dilahirkan, kemudian diletakkan di perut ibunya. Lalu secara naluriah dia merangkak berusaha mencari puting susu ibunya dan meminum air susunya. Itulah hidayah pertama yang Allah berikan untuk kita hamba-Nya. Sebuah bimbingan dasar yang juga Allah berikan kepada segenap makhluk hidup yang lain juga.
2. Hidayatul Khawas (Indera)
Petunjuk kepada keselamatan kedua dari Allah adalah Indra kita. Kerana sebagai manusia, Insting dan naluri saja belumlah cukup adanya.
Dengan indra inilah, maka naluri manusia itu diarahkan. Secara naluriah manusia akan mencari makan di saat lapar, tapi lidahlah yang kemudian memilihkan makanan yang layak masuk ke dalam tubuh dan yang tidak.
Secara naluriah pula, manusia waspada bila mendengar sesuatu yang mengejutkan. Tapi telinga dan hati kitalah yang pada akhirnya membezakan, mana suara panggilan dan mana suara ancaman. Singkatnya, manusia diberikan darjat yang lebih baik lagi dibanding makhluk Allah yang lain dengan diberikannya indra.
Sebagai hidayah dari Allah, indra kita tidak pernah memberi petunjuk kepada sesuatu yang menyesatkan. Ini semua kerana Indra memang diciptakan Allah sebagai penunjuk jalan. Sebagai pembimbing bagi kita untuk menikmati hidup lebih baik lagi.
3. Hidayatul ‘Aqly (Akal)
Allah memberi kita akal. Akal menyempurnakan apa yang sudah diperoleh dari naluri dan indra kita. Akal menjelaskan tentang sebuah kejadian yang hanya tertangkap sekilas oleh indra. Naluri dan indra kita menuntun untuk menghindari sesuatu yang bersifat panas membakar. Berakal berarti boleh membezakan yang baik dan yang buruk. Berakal bererti mampu memisahkan mana yang hak dan mana yang batil. Berakal bererti mampu memilih mana yang benar dan mana yang salah. Berakal bererti boleh lebih berhati-hati lagi menyikapi sesuatu. Berakal bererti mampu mengembangkan diri untuk hidup yang lebih baik dan lebih terhormat lagi.
4. Hidayatu Ad-Dien (Hidayah Agama)
Akal sekalipun sesungguhnya juga sangat terbatas kemampuannya. Sering akal buntu menjawab beberapa pertanyaan mendasar mengenai manusia. Kerana keterbatasan akal, banyak manusia yang pada akhirnya menuhankan benda, pepohonan, gunung, lautan, matahari, atau pun roh-roh leluhur yang diyakini menguasai dan mengatur alam semesta ini. Untuk itulah Allah menurunkan agama sebagai hidayah muktamad, Aturannya tertulis rapi dalam lembaran mushaf Al-Quran dan hadis Rasulullah s.a.w.
Begitu terperinci dan sempurna memberi jalan dan tauladan. Begitu teratur dan berterus terang melukiskan harapan sekaligus ancaman dari tiap-tiap perbuatan. Isinya begitu selaras, serasi, dan seimbang dengan fitrah insani. Tidak berlawanan dengan naluri, tidak bertentangan dengan sentuhan indrawi, dan bahkan menjadi pelurus dan pembimbing arah berfikir bagi akal yang terbatas ini.
Cuba Anda tanyakan pada diri sendiri, apakah Allah belum memberi naluri yang memberi petunjuk awal bagaimana hidup dengan lebih baik? Apakah Allah belum memberikan kepadanya lima indra yang menuntun untuk membangunkan diri? Apakah Allah juga tidak memberi akal untuk kita berfikir dan membezakan mana yang baik untuk diikuti dan mana yang harus ditinggalkan? Terakhir, tidak cukupkah nabi, rasul, dan ulama yang membimbing kita untuk mengenal Allah dan segala ketentuannya? Kalau jawapannya “Ya”, lalu apa alasannya menunda keredhaan Allah mengalir kepadanya?
0 comments: